Rabu, 16 Desember 2009

Artikel Koperasi

ARTIKEL KOPERASI Oleh : Djabaruddin Djohan

Penulis adalah Aktifis Perkoperasian, pernah menjabat sebagai Ketua Badan Eksekutif Nasional FORMASI Indonesia periode 1993-1996, Ketua Badan Pengawas Nasional periode 1996-1999, saat ini aktif sebagai Ketua Pengurus LSP2I (Lembaga Studi Pengembangan Perk

________________________________________

Tanggal 12 Juli 2008, organisasi gerakan koperasi (Dekopin – Dewan Koperasi Indonesia) memperingati Hari Koperasi yang ke-61 tahun, sudah cukup tua untuk usia sebuah organisasi. Apalagi jika dilihat dari saat pertama kali koperasi diperkenalkan di Indonesia, yaitu sekitar tahun 1895, berarti sudah lebih dari satu abad masyarakat Indonesia mengenal koperasi. Kemudian peranan koperasi secara politis diperkuat dengan dicantumkannya dalam konstitusi (UUD 1945), yang meskipun telah diamandemen (2002) sehingga kata ”koperasi” tidak adalagi, menurut UU No 25/1992 yang masih berlaku, masih diharapkan dapat berperan ”sebagai soko guru perekonomian nasional maupun sebagai bagian integral perekonomian nasional” Dengan perjalanan panjang yang telah ditempuh oleh koperasi kita selama ini dan posisi politis strategis yang dipercayakan kepada koperasi, sehingga kepadanya diberikan perlindungan dan fasilitas yang berlimpah, toh koperasi tidak mampu berkembang seperti yang kita harapkan. Jangankan menjadi soko guru perekonomian nasional, banyak koperasi yang ibarat pepatah ”mati segan hidup tak mau”, sering pula disebut sebagai ”koperasi papan” nama, disamping juga banyak koperasi yang hidupnya tergantung pada bantuan luar/pemerintah. Juga banyak pula koperasi yang dijadikan ”sawah ladang” oleh pengurusnya. Meskipun demikian, masih banyak pula koperasi yang berkembang menjadi lembaga ekonomi sosial yang kuat dan mandiri, sebut saja koperasi kredit, beberapa koperasi wanita, koperasi simpan pinjam atau koperasi susu, tetapi secara nasional perannya masih terlalu kecil. Kondisi inilah yang menyebabkan masyarakat luas memandang ”sebelah mata” pada keberadaan koperasi, sehingga enggan membangun usaha melalui wadah koperasi. Atau baru mau berkoperasi jika dari pemerintah ada ”iming-iming” fasilitas. Perjalanan koperasi, yang dalam beberapa periode pemerintahan tidak dikembangkan sebagaimana mestinya; yaitu sebagai ”alat anggota untuk meningkatkan kesejahteraannya, baik dari segi ekonomi maupun sosialnya”, tetapi justru dijadikan ”alat politik” (masa orde lama) dan ”sebagai alat/bagian pembangunan nasional” (masa orde baru), telah menjadikan gerakan koperasi begitu tergantung pada bantuan luar terutama pemerintah, yang dampaknya masih sangat kita rasakan hingga saat ini. Koperasi di Era Reformasi Bagaimana pada era reformasi saat ini? Periode yang seharusnya merupakan kesempatan bagi gerakan koperasi untuk membenahi organisasinya, termasuk organisasi gerakan koperasi (Dekopin) agar menjadi kuat dan sehat, sehingga dapat menjadi partner pemerintah yang seimbang dalam pembinaan koperasi, dalam kenyataannya justru banyak disibukkan dengan konflik diantara pimpinannya, apalagi yang menjadi pokok permasalahan jika bukan perebutan pucuk pimpinan organisasi tunggal gerakan koperasi yang bisa dijadikan ”anak tangga” menuju posisi politik tingkat nasional? Dekopin yang seharusnya membela dan mewakili kepentingan gerakan koperasi, dalam kentayaan tidak bisa berbuat banyak, karena untuk membiayai kegiatannya sepenuhnya tergantung pada APBN, bukan pada dukungan keuangan anggota sebagai wujud kemandiriannya. Sementara itu dari pihak pemerintah, pucuk pimpinan instansi pembina koperasi (Menteri Koperasi dan UKM) sepertinya sudah menjadi “jatah” bagi partai politik tertentu, yang karena merupakan jabatan politi tidak mempertimbangkan latar belakang kemampuan pejabatnya, pemahamannya atas keberpihakannya pada koperasi sebagai lembaga ekonomi dan sosial rakyat. Akibatnya bisa kita lihat, Pak Menteri di mata publik lebih menunjukkan diri sebagai tokoh politik yang lebih banyak berkampanye bagi diri dan partainya untuk pemilu 2009 ketimbang sebagai pembina koperasi yang seharusnya berfungsi menciptakan kondisi kondusif bagi pembinaan koperasi. Lebih parah lagi kedua pembina koperasi itu, Dekopin dan Kementerian Koperasi dan UKM, yang seharusnya bahu membahu dalam pembinaan koperasi, justru tidak akur, maka lengkap sudah keamburadulan pembinaan koperasi di Indonesia Dengan latar belakang seperti diatas, bisa dimaklumi jika kemudian, koperasi jalan sendiri-sendiri tanpa pedoman yang benar.

Syukurlah dalam iklim pembinaan koperasi yang amburadul ini, masih cukup banyak koperasi yang berkembang dengan sehat dan mandiri. Diantara koperasi-koperasi ini layak dicatat keberadaan koperasi kredit (kopdit) yang sejak awal pendiriannya (1970) dikembangkan secara mandiri melalui pendidikan yang berkesinambungan sehingga saat ini kopdit sudah tersebar di seluruh Indonesia sebagai lembaga ekonomi sosial yang sehat dan kuat. Mengaca dari Koperasi di Dunia Pada tanggal 18-19 Oktober 2007 saya (penulis – red) mengikuti General Assembly ICA di Singapura. Dalam forum tersebut antara lain diluncurkan proyek yang disebut ICA Global 300, yang menyajikan profil koperasi-koperasi klas dunia, sebut saja sebagai peringkat pertama Zeh Noh, induk koperasi pertanian Jepang yang pada 2005 volume usahanya menacapai USD 63.449 juta dan assetnya USD 18.898 juta; hingga koperasi yang “terbuncit” yaitu Associated Press, koperasi kantor berita Amerika Serikat, yang volume usahanya US 654 juta dan assetnya USD 467 juta (2005). Koperasi yang muncul dalam Global 300 tersebut terdiri dari beberapa jenis seperti pertanian (termasuk koperasi kehutanan) (33%), eceran dan grosir (25%), lembaga keuangan (asuransi, perbankan, kopdit/simpan-pinjam) sebesar 40%, dan sisanya (2%) terdiri dari koperasi energi, kesehatan dan manufaktur. Dari 300 koperasi tersebut Amerika Serikat memberikan sumbangan terbesar dengan memasukan 62 koperasi (20%) Perancis 45 koperasi, Jerman 33 koperasi dan Itali 28 koperasi.

Selain dari kriteria besarnya volume usaha (turnover) dan assetnya, yang dijadikan kriteria untuk bisa masuk dalam Global 300 ini juga kegiatannya dalam CSR (Cooperative Social Responsibilty) seperti kepeduliannya dalam melaksanakan prinsip-prinsip koperasi, kepeduliannya pada nasib pihak-pihak terkait (anggota, karyawan, pelanggan dan sebagainya), kepeduliannya pada kwalitas produk, kepeduliannya pada lingkungan dan masyarakat serta pelaksanaan demokrasi. Selain Global 300, dalam General Assembly tersebut, juga diluncurkan Devoloping 300 Project yang menyajikan koperasi-koperasi dengan kriteria yang lebih rendah dari koperasi Global 300, yang umumnya berasal dari negara-negara sedang berkembang. Ke dalam kelompok ini, beberapa negara sedang berkembang tetangga kita banyak meloloskan koperasinya, seperti Malaysia. Pilipina, Srilangka, Muangthai dan Vietnam, masing-masing 5 koperasi. Bahkan beberapa negara Afrika seperti: Ethiopia, Kenya, Tanzania dan Uganda, masing-masing menyumbangkan 5 koperasi juga. Ternyata kedalam kelompok ini, entah karena keteledoran otoritas koperasi kita yang tidak mendaftarkan koperasi berprestasi kita ke ICA atau memang koperasi kita belum ada yang dapat lolos sesuai dengan kriteria yang ditetapkan ICA, tidak satupun koperasi kita yang masuk dalam kelompok ini. Menarik untuk diketahui, bahwa banyak koperasi-koperasi klas dunia yang termasuk dalam Global 300 ini berasal dari negara-negara yang kita kenal menganut sistem kapitalisme liberal (yang tradisi demokrasinya sudah begitu mengakar), yang sama sekali tidak memiliki Undang-undang Koperasi, juga tidak ada Menteri Koperasi seperti di Indonesia. Bahkan koperasi di beberapa negara yang tidak memiliki UU koperasi dan Menteri Koperasi ini, telah memberikan sumbangan yang berarti bagi pembangunan perekonomian nasionalnya, khususnya terhadap PDB, sebut saja koperasi-koperasi di Finlandia yang memberikan sumbangan sebesar 21.1%, Selandia baru 17.5% Swiss 16.4% dan Swedia 13.0%. Sungguh menyedihkan menyaksikan (bahkan terlibat) dalam gerakan koperasi yang dalam perjalanannya pernah diwarnai dengan semangat yang menggebu-gebu dari gerakan koperasi maupun pemerintah untuk menjadikan koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional melalui kebijakan dan fasilitas yang melimpah, tapi karena mayoritas anggotanya terdiri dari ”koperasi merpati”, yang begitu ”butir-butir jagung fasilitas” tiada lagi, koperasipun gugur satu-satu.

Tapi dilain pihak sebagai bagian dari gerakan koperasi internasional, mata kitapun semakin terbuka, bahwa jika koperasi dikelola secara benar dan profesional dapat menjadi badan usaha raksasa, yang disamping tetap berorientasi untuk melayani anggotanya, maupun menciptakan lapangan kerja, juga tidak melupakan tanggung jawab sosialnya, seperti ditunjukkan oleh koperasi-koperasi yang termasuk dalam kelompok Global 300 ICA. Harapan dan Tantangan Koperasi Kedepan Menyimak perkembangan koperasi-koperasi di negara sedang berkembang, untuk keberhasilannya bagaimanapun diperlukan kerjasama yang erat antara gerakan dan pemerintah. Kedua belah pihak (gerakan dan pemerintah) pada hakekatnya mempunyai kepentingan/tujuan yang sama bagi keberhasilan koperasi: pengurangan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja dan juga pelaksanaan demokrasi, hingga kerjasama antara keduanya merupakan keharusan demi efektivitas pengembangan koperasi. Kerjasama antara gerakan pemerintah ini, telah dilaksanakan dengan berhasil di Singapura (yang meyumbangkan 2 koperasi, yaitu koperasi ritel dan koperasi asuransi ke Global 300), Malaysia dan Muangthai. Sedangkan di Indonesia, kerjasama antara gerakan dan pemerintah alangkah sulitnya diwujudkan, sehingga masing-masing memiliki agenda sendiri dalam pembinaan koperasi.

Apa yang bisa kita pelajari dari perjalanan panjang pengembangan koperasi di Indonesia serta perkembangan koperasi internasional seperti ditujukan oleh ICA Global 300? Koperasi betapapun merupakan lembaga ekonomi sosial yang mandiri, yang harus dikembangkan dari bawah. Pendekatan top down yang selama ini ditempuh, ternyata gagal. Pengembangan kopdit yang dikembangkan benar-benar dari bawah melalui pendidikan, merupakan contoh yang berhasil (best practises) dari pengembangan koperasi secara mandiri. Sementara berbagai jenis koperasi yang termasuk dalam ICA Global 300 menunjukkan bahwa koperasi jika dikembangkan secara profesional dapat berkembang besar tanpa meninggalkan jatidirinya sebagai lembaga ekonomi sosial yang demokratis, sehingga seharusnya dapat menghapus kesan di kalangan kita (termasuk kalangan intelektual) bahwa koperasi itu tidak mungkin bisa menjadi besar (sering dengan sinis dikatakan sebagai ”condemmed to be small”).

(DD) Disarikan dari lontaran Bp. Djabaruddin Djohan, pada peringatan Hari Koperasi 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar