Rabu, 16 Desember 2009

Artikel Koperasi

ARTIKEL KOPERASI Oleh : Djabaruddin Djohan

Penulis adalah Aktifis Perkoperasian, pernah menjabat sebagai Ketua Badan Eksekutif Nasional FORMASI Indonesia periode 1993-1996, Ketua Badan Pengawas Nasional periode 1996-1999, saat ini aktif sebagai Ketua Pengurus LSP2I (Lembaga Studi Pengembangan Perk

________________________________________

Tanggal 12 Juli 2008, organisasi gerakan koperasi (Dekopin – Dewan Koperasi Indonesia) memperingati Hari Koperasi yang ke-61 tahun, sudah cukup tua untuk usia sebuah organisasi. Apalagi jika dilihat dari saat pertama kali koperasi diperkenalkan di Indonesia, yaitu sekitar tahun 1895, berarti sudah lebih dari satu abad masyarakat Indonesia mengenal koperasi. Kemudian peranan koperasi secara politis diperkuat dengan dicantumkannya dalam konstitusi (UUD 1945), yang meskipun telah diamandemen (2002) sehingga kata ”koperasi” tidak adalagi, menurut UU No 25/1992 yang masih berlaku, masih diharapkan dapat berperan ”sebagai soko guru perekonomian nasional maupun sebagai bagian integral perekonomian nasional” Dengan perjalanan panjang yang telah ditempuh oleh koperasi kita selama ini dan posisi politis strategis yang dipercayakan kepada koperasi, sehingga kepadanya diberikan perlindungan dan fasilitas yang berlimpah, toh koperasi tidak mampu berkembang seperti yang kita harapkan. Jangankan menjadi soko guru perekonomian nasional, banyak koperasi yang ibarat pepatah ”mati segan hidup tak mau”, sering pula disebut sebagai ”koperasi papan” nama, disamping juga banyak koperasi yang hidupnya tergantung pada bantuan luar/pemerintah. Juga banyak pula koperasi yang dijadikan ”sawah ladang” oleh pengurusnya. Meskipun demikian, masih banyak pula koperasi yang berkembang menjadi lembaga ekonomi sosial yang kuat dan mandiri, sebut saja koperasi kredit, beberapa koperasi wanita, koperasi simpan pinjam atau koperasi susu, tetapi secara nasional perannya masih terlalu kecil. Kondisi inilah yang menyebabkan masyarakat luas memandang ”sebelah mata” pada keberadaan koperasi, sehingga enggan membangun usaha melalui wadah koperasi. Atau baru mau berkoperasi jika dari pemerintah ada ”iming-iming” fasilitas. Perjalanan koperasi, yang dalam beberapa periode pemerintahan tidak dikembangkan sebagaimana mestinya; yaitu sebagai ”alat anggota untuk meningkatkan kesejahteraannya, baik dari segi ekonomi maupun sosialnya”, tetapi justru dijadikan ”alat politik” (masa orde lama) dan ”sebagai alat/bagian pembangunan nasional” (masa orde baru), telah menjadikan gerakan koperasi begitu tergantung pada bantuan luar terutama pemerintah, yang dampaknya masih sangat kita rasakan hingga saat ini. Koperasi di Era Reformasi Bagaimana pada era reformasi saat ini? Periode yang seharusnya merupakan kesempatan bagi gerakan koperasi untuk membenahi organisasinya, termasuk organisasi gerakan koperasi (Dekopin) agar menjadi kuat dan sehat, sehingga dapat menjadi partner pemerintah yang seimbang dalam pembinaan koperasi, dalam kenyataannya justru banyak disibukkan dengan konflik diantara pimpinannya, apalagi yang menjadi pokok permasalahan jika bukan perebutan pucuk pimpinan organisasi tunggal gerakan koperasi yang bisa dijadikan ”anak tangga” menuju posisi politik tingkat nasional? Dekopin yang seharusnya membela dan mewakili kepentingan gerakan koperasi, dalam kentayaan tidak bisa berbuat banyak, karena untuk membiayai kegiatannya sepenuhnya tergantung pada APBN, bukan pada dukungan keuangan anggota sebagai wujud kemandiriannya. Sementara itu dari pihak pemerintah, pucuk pimpinan instansi pembina koperasi (Menteri Koperasi dan UKM) sepertinya sudah menjadi “jatah” bagi partai politik tertentu, yang karena merupakan jabatan politi tidak mempertimbangkan latar belakang kemampuan pejabatnya, pemahamannya atas keberpihakannya pada koperasi sebagai lembaga ekonomi dan sosial rakyat. Akibatnya bisa kita lihat, Pak Menteri di mata publik lebih menunjukkan diri sebagai tokoh politik yang lebih banyak berkampanye bagi diri dan partainya untuk pemilu 2009 ketimbang sebagai pembina koperasi yang seharusnya berfungsi menciptakan kondisi kondusif bagi pembinaan koperasi. Lebih parah lagi kedua pembina koperasi itu, Dekopin dan Kementerian Koperasi dan UKM, yang seharusnya bahu membahu dalam pembinaan koperasi, justru tidak akur, maka lengkap sudah keamburadulan pembinaan koperasi di Indonesia Dengan latar belakang seperti diatas, bisa dimaklumi jika kemudian, koperasi jalan sendiri-sendiri tanpa pedoman yang benar.

Syukurlah dalam iklim pembinaan koperasi yang amburadul ini, masih cukup banyak koperasi yang berkembang dengan sehat dan mandiri. Diantara koperasi-koperasi ini layak dicatat keberadaan koperasi kredit (kopdit) yang sejak awal pendiriannya (1970) dikembangkan secara mandiri melalui pendidikan yang berkesinambungan sehingga saat ini kopdit sudah tersebar di seluruh Indonesia sebagai lembaga ekonomi sosial yang sehat dan kuat. Mengaca dari Koperasi di Dunia Pada tanggal 18-19 Oktober 2007 saya (penulis – red) mengikuti General Assembly ICA di Singapura. Dalam forum tersebut antara lain diluncurkan proyek yang disebut ICA Global 300, yang menyajikan profil koperasi-koperasi klas dunia, sebut saja sebagai peringkat pertama Zeh Noh, induk koperasi pertanian Jepang yang pada 2005 volume usahanya menacapai USD 63.449 juta dan assetnya USD 18.898 juta; hingga koperasi yang “terbuncit” yaitu Associated Press, koperasi kantor berita Amerika Serikat, yang volume usahanya US 654 juta dan assetnya USD 467 juta (2005). Koperasi yang muncul dalam Global 300 tersebut terdiri dari beberapa jenis seperti pertanian (termasuk koperasi kehutanan) (33%), eceran dan grosir (25%), lembaga keuangan (asuransi, perbankan, kopdit/simpan-pinjam) sebesar 40%, dan sisanya (2%) terdiri dari koperasi energi, kesehatan dan manufaktur. Dari 300 koperasi tersebut Amerika Serikat memberikan sumbangan terbesar dengan memasukan 62 koperasi (20%) Perancis 45 koperasi, Jerman 33 koperasi dan Itali 28 koperasi.

Selain dari kriteria besarnya volume usaha (turnover) dan assetnya, yang dijadikan kriteria untuk bisa masuk dalam Global 300 ini juga kegiatannya dalam CSR (Cooperative Social Responsibilty) seperti kepeduliannya dalam melaksanakan prinsip-prinsip koperasi, kepeduliannya pada nasib pihak-pihak terkait (anggota, karyawan, pelanggan dan sebagainya), kepeduliannya pada kwalitas produk, kepeduliannya pada lingkungan dan masyarakat serta pelaksanaan demokrasi. Selain Global 300, dalam General Assembly tersebut, juga diluncurkan Devoloping 300 Project yang menyajikan koperasi-koperasi dengan kriteria yang lebih rendah dari koperasi Global 300, yang umumnya berasal dari negara-negara sedang berkembang. Ke dalam kelompok ini, beberapa negara sedang berkembang tetangga kita banyak meloloskan koperasinya, seperti Malaysia. Pilipina, Srilangka, Muangthai dan Vietnam, masing-masing 5 koperasi. Bahkan beberapa negara Afrika seperti: Ethiopia, Kenya, Tanzania dan Uganda, masing-masing menyumbangkan 5 koperasi juga. Ternyata kedalam kelompok ini, entah karena keteledoran otoritas koperasi kita yang tidak mendaftarkan koperasi berprestasi kita ke ICA atau memang koperasi kita belum ada yang dapat lolos sesuai dengan kriteria yang ditetapkan ICA, tidak satupun koperasi kita yang masuk dalam kelompok ini. Menarik untuk diketahui, bahwa banyak koperasi-koperasi klas dunia yang termasuk dalam Global 300 ini berasal dari negara-negara yang kita kenal menganut sistem kapitalisme liberal (yang tradisi demokrasinya sudah begitu mengakar), yang sama sekali tidak memiliki Undang-undang Koperasi, juga tidak ada Menteri Koperasi seperti di Indonesia. Bahkan koperasi di beberapa negara yang tidak memiliki UU koperasi dan Menteri Koperasi ini, telah memberikan sumbangan yang berarti bagi pembangunan perekonomian nasionalnya, khususnya terhadap PDB, sebut saja koperasi-koperasi di Finlandia yang memberikan sumbangan sebesar 21.1%, Selandia baru 17.5% Swiss 16.4% dan Swedia 13.0%. Sungguh menyedihkan menyaksikan (bahkan terlibat) dalam gerakan koperasi yang dalam perjalanannya pernah diwarnai dengan semangat yang menggebu-gebu dari gerakan koperasi maupun pemerintah untuk menjadikan koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional melalui kebijakan dan fasilitas yang melimpah, tapi karena mayoritas anggotanya terdiri dari ”koperasi merpati”, yang begitu ”butir-butir jagung fasilitas” tiada lagi, koperasipun gugur satu-satu.

Tapi dilain pihak sebagai bagian dari gerakan koperasi internasional, mata kitapun semakin terbuka, bahwa jika koperasi dikelola secara benar dan profesional dapat menjadi badan usaha raksasa, yang disamping tetap berorientasi untuk melayani anggotanya, maupun menciptakan lapangan kerja, juga tidak melupakan tanggung jawab sosialnya, seperti ditunjukkan oleh koperasi-koperasi yang termasuk dalam kelompok Global 300 ICA. Harapan dan Tantangan Koperasi Kedepan Menyimak perkembangan koperasi-koperasi di negara sedang berkembang, untuk keberhasilannya bagaimanapun diperlukan kerjasama yang erat antara gerakan dan pemerintah. Kedua belah pihak (gerakan dan pemerintah) pada hakekatnya mempunyai kepentingan/tujuan yang sama bagi keberhasilan koperasi: pengurangan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja dan juga pelaksanaan demokrasi, hingga kerjasama antara keduanya merupakan keharusan demi efektivitas pengembangan koperasi. Kerjasama antara gerakan pemerintah ini, telah dilaksanakan dengan berhasil di Singapura (yang meyumbangkan 2 koperasi, yaitu koperasi ritel dan koperasi asuransi ke Global 300), Malaysia dan Muangthai. Sedangkan di Indonesia, kerjasama antara gerakan dan pemerintah alangkah sulitnya diwujudkan, sehingga masing-masing memiliki agenda sendiri dalam pembinaan koperasi.

Apa yang bisa kita pelajari dari perjalanan panjang pengembangan koperasi di Indonesia serta perkembangan koperasi internasional seperti ditujukan oleh ICA Global 300? Koperasi betapapun merupakan lembaga ekonomi sosial yang mandiri, yang harus dikembangkan dari bawah. Pendekatan top down yang selama ini ditempuh, ternyata gagal. Pengembangan kopdit yang dikembangkan benar-benar dari bawah melalui pendidikan, merupakan contoh yang berhasil (best practises) dari pengembangan koperasi secara mandiri. Sementara berbagai jenis koperasi yang termasuk dalam ICA Global 300 menunjukkan bahwa koperasi jika dikembangkan secara profesional dapat berkembang besar tanpa meninggalkan jatidirinya sebagai lembaga ekonomi sosial yang demokratis, sehingga seharusnya dapat menghapus kesan di kalangan kita (termasuk kalangan intelektual) bahwa koperasi itu tidak mungkin bisa menjadi besar (sering dengan sinis dikatakan sebagai ”condemmed to be small”).

(DD) Disarikan dari lontaran Bp. Djabaruddin Djohan, pada peringatan Hari Koperasi 2008.

Kotribusi Koperasi Terhadap UMKM

Pengertian UMKM di Indonesia tidak sama dengan pengertian UMKM di negara lain. Tetapi dalam forum global, UMKM di Indonesia sering disetarakan dengan UMKM di bebagai negara. Bahkan UMKM Indonesia sering dibandingkan dengan UMKM negara maju seperti Amerika Serikat. Sejauh ini cukup banyak instansi, badan dan atau lembaga yang secara langsung dan tidak langsung membina UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah). Hasilnya memang ada, tetapi tidak mengubah struktur ekonomi Indonesia.

Perlu dilakukan perubahan cara pandang dan paradigma pengembangan UMKM dalam meningkatkan dan memperkuat dasar kehidupan perekonomian dari sebagian terbesar rakyat Indonesia, khususnya melalui penyediaan lapangan pekerjaan dan mengurangi kesenjangan dan tingkat kemiskinan. Dengan demikian upaya untuk memberdayakan UMKM harus terencana, sistematis dan menyeluruh baik pada tataran makro dan mikro yang meliputi penciptaan iklim usaha dalam rangka membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya, serta menjamin kepastian usaha disertai adanya efisiensi ekonomi, pengembangan sistem pendukung usaha bagi UMKM untuk meningkatkan akses kepada sumber daya produktif sehingga dapat memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya, terutama sumber daya lokal yang tersedia, pengembangan kewirausahaan dan keunggulan kompetitif usaha kecil dan menengah (UMKM) dan pemberdayaan usaha skala mikro untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang bergerak dalam kegiatan usaha ekonomi di sektor informal yang berskala usaha mikro, terutama yang masih berstatus keluarga miskin. Selain itu, peningkatan kualitas koperasi untuk berkembang secara sehat sesuai dengan jati dirinya dan membangun efisiensi kolektif terutama bagi pengusaha mikro dan kecil. Perkembangan UMKM yang meningkat dari segi kuantitas tersebut belum diimbangi oleh meratanya peningkatan kualitas UMKM.

Permasalahan klasik yang dihadapi yaitu rendahnya produktivitas. Keadaan ini disebabkan oleh masalah internal yang dihadapi UMKM yaitu rendahnya kualitas sumber daya manusia UMKM dalam manajemen, organisasi, penguasaan teknologi, dan pemasaran, lemahnya kewirausahaan dari para pelaku UMKM, dan terbatasnya akses UMKM terhadap permodalan, informasi, teknologi dan pasar, serta faktor produksi lainnya. Sedangkan masalah eksternal yang dihadapi oleh UMKM diantaranya adalah besarnya biaya transaksi akibat iklim usaha yang kurang mendukung dan kelangkaan bahan baku. Juga yang menyangkut perolehan legalitas formal yang hingga saat ini masih merupakan persoalan mendasar bagi UMKM di Indonesia, menyusul tingginya biaya yang harus dikeluarkan dalam pengurusan perizinan. Sementara itu, kurangnya pemahaman tentang koperasi sebagai badan usaha yang memiliki struktur kelembagaan (struktur organisasi, struktur kekuasaan, dan struktur insentif) serta kurang memasyarakatnya informasi tentang praktek-praktek berkoperasi yang benar telah menyebabkan rendahnya kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi.

Koperasi dan UMKM juga menghadapi tantangan terutama yang ditimbulkan oleh pesatnya perkembangan globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan bersamaan dengan cepatnya tingkat kemajuan teknologi. Perkembangan koperasi dan UMKM diperkirakan masih akan menghadapi masalah mendasar dan tantangan yaitu rendahnya produktivitas, terbatasnya akses kepada sumber daya produktif, rendahnya kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi, dan tertinggalnya kinerja koperasi. Sasaran yang ingin dicapai koperasi dalam memajukan perkembangan UMKM ialah meningkatkan produktivitas dan nilai ekspor produk usaha kecil dan menengah, mengembangkan usaha koperasi dan UMKM di bidang agribisnis di pedesaan, menumbuhkan wirausaha baru berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi, mengembangkan usaha mikro di perdesaan dan di daerah tertinggal dan kantong-kantong kemiskinan serta Meningkatkan jumlah koperasi yang dikelola sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi. Kebijakan pemberdayaan koperasi dan UMKM secara umum diarahkan untuk mendukung upaya-upaya penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan, penciptaan kesempatan kerja dan peningkatan ekspor, serta revitalisasi pertanian dan perdesaan, yang menjadi prioritas pembangunan nasional. Pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) diarahkan agar memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penciptaan kesempatan kerja, peningkatan ekspor dan peningkatan daya saing, sementara itu pengembangan usaha skala mikro diarahkan untuk memberikan kontribusi dalam peningkatan pendapatan masyarakat berpendapatan rendah, khususnya di sektor pertanian dan pedesaan. Dalam rangka mendukung penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan, dilakukan penyediaan dukungan dan kemudahan untuk pengembangan usaha ekonomi produktif berskala mikro atau informal, terutama di kalangan keluarga miskin atau di daerah tertinggal dan kemiskinan. Pengembangan usaha skala mikro diarahkan untuk meningkatkan kapasitas usaha dan keterampilan pengelolaan usaha, serta meningkatkan kepastian dan perlindungan usahanya, sehingga menjadi unit usaha yang lebih mandiri, berkelanjutan dan siap untuk tumbuh dan bersaing. Pemberdayaan koperasi dan UMKM juga diarahkan untuk mendukung penciptaan kesempatan kerja dan peningkatan ekspor, antara lain pengembangan sistem insentif untuk menumbuhkan wirausaha baru berbasis teknologi atau berorientasi ekspor, serta peningkatan akses dan perluasan pasar ekspor bagi produk-produk koperasi dan UKM. UKM perlu diberi kemudahan dalam formalisasi dan perijinan usaha, antara lain dengan mengembangkan pola pelayanan untuk memperlancar proses dan mengurangi biaya perijinan. Serta perkembangkan budaya usaha dan kewirausahaan melalui pelatihan, bimbingan konsultasi dan penyuluhan, serta kemitraan usaha. UMKM yang merupakan pelaku ekonomi mayoritas di sektor pertanian dan pedesaan adalah salah satu komponen dalam sistem pembangunan pertanian dan perdesaan. Oleh karena itu, kebijakan pemberdayaan UMKM di sektor pertanian dan perdesaan harus sejalan dengan dan mendukung kebijakan pembangunan pertanian dan perdesaan agar mampu memanfaatkan kesempatan usaha dan potensi sumberdaya lokal yang tersedia untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha agrobisnis serta mengembangkan ragam produk unggulannya. Upaya ini didukung dengan peningkatan kapasitas kelembagaan dan kualitas layanan lembaga keuangan lokal menjadi alternatif sumber pembiayaan bagi sektor pertanian dan perdesaan.

Senin, 07 Desember 2009

Perkembangan Koperasi di Indonesia

AWAL PERTUMBUHAN KOPERASI INDONESIA

Pertumbuhan koperasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1896, yang selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu sampai sekarang. Perkembangan koperasi di Indonesia mengalami pasang naik dan turun dengan titik berat lingkup kegiatan usaha secara menyeluruh yang berbeda-beda dari waktu ke waktu sesuai dengan iklim lingkungannya. Jikalau pertumbuhan koperasi yang pertama di Indonesia menekankan pada kegiatan simpan-pinjam maka selanjutnya tumbuh pula koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang konsumsi dan dan kemudian koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang untuk keperluan produksi.

Perkembangan koperasi dari berbagai jenis kegiatan usaha tersebut selanjutnya ada kecenderungan menuju kepada suatu bentuk koperasi yang memiliki beberapa jenis kegiatan usaha. Koperasi serba usaha ini mengambil langkah-langkah kegiatan usaha yang paling mudah mereka kerjakan terlebih dulu, seperti kegiatan penyediaan barang-barang keperluan produksi bersama-sama dengan kegiatan simpan-pinjam ataupun kegiatan penyediaan barang-barang keperluan konsumsi bersama-sama dengan kegiatan simpan-pinjam dan sebagainya.

Pertumbuhan koperasi di Indonesia dipelopori oleh R. Aria Wiriatmadja patih di Purwokerto (1896), mendirikan koperasi yang bergerak dibidang simpan pinjam. Untuk memodali koperasi simpan- pinjam tersebut di samping banyak menggunakan uangnya sendiri, beliau juga menggunakan kas mesjid yang dipegangnya. Setelah beliau mengetahui bahwa hal tersebut tidak boleh, maka uang kas mesjid telah dikembalikan secara utuh pada posisi yang sebenarnya. Kegiatan R Aria Wiriatmadja dikembangkan lebih lanjut oleh De Wolf Van Westerrode asisten Residen Wilayah Purwokerto di Banyumas. Ketika ia cuti ke Eropa dipelajarinya cara kerja wolksbank secara Raiffeisen (koperasi simpan-pinjam untuk kaum tani) dan Schulze-Delitzsch (koperasi simpan-pinjam untuk kaum buruh di kota) di Jerman. Setelah ia kembali dari cuti mulailah ia mengembangkan koperasi simpan-pinjam sebagaimana telah dirintis oleh R. Aria Wiriatmadja.

Dalam hubungan ini kegiatan simpan pinjam yang dapat berkembang ialah model koperasi simpan-pinjam lumbung dan modal untuk itu diambil dari zakat. Selanjutnya Boedi Oetomo yang didirikan pada tahun 1908 menganjurkan berdirinya koperasi untuk keperluan rumah tangga. Demikian pula Sarikat Islam yang didirikan tahun 1911 juga mengembangkan koperasi yang bergerak di bidang keperluan sehari-hari dengan cara membuka toko-toko koperasi. Perkembangan yang pesat dibidang perkoperasian di Indonesia yang menyatu dengan kekuatan social dan politik menimbulkan kecurigaan Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karenanya Pemerintah Hindia Belanda ingin mengaturnya tetapi dalam kenyataan lebih cenderung menjadi suatu penghalang atau penghambat perkembangan koperasi. Dalam hubungan ini pada tahun 1915 diterbitkan Ketetapan Raja no. 431 yang berisi antara lain :

a. Akte pendirian koperasi dibuat secara notariil

b. Akte pendirian harus dibuat dalam Bahasa Belanda

c. Harus mendapat ijin dari Gubernur Jenderal

dan di samping itu diperlukan biaya meterai f 50. Proses permohonan badan hukum direncanakanakan dan diajukan setelah antara 2 sampai dengan 3 tahun berdiri. Berbagai ketentuan dan persyaratan sebagaimana dalam ketetapan Raja no 431/1915 tersebut dirasakan sangat memberatkan persyaratan berdiriya koperasi. Dengan demikian praktis peraturan tersebut dapat dipandang sebagai suatu penghalang bagi pertumbuhan koperasi di Indonesia, yang mengundang berbagai reaksi. Oleh karenanya maka pada tahun 1920 dibentuk suatu ‘Komisi Koperasi’ yang dipimpin oleh DR. J.H. Boeke yang diberi tugas neneliti sampai sejauh mana keperluan penduduk Bumi Putera untuk berkoperasi.

Hasil dari penelitian menyatakan tentang perlunya penduduk Bumi putera berkoperasi dan untuk mendorong keperluan rakyat yang bersangkutan. Selanjutnya didirikanlah Bank Rakyat (Volkscredit Wezen). Berkaitan dengan masalah Peraturan Perkoperasian, maka pada tahun 1927 di Surabaya didirikan “Indonsische Studieclub” Oleh dokter Soetomo yang juga pendiri Boedi Oetomo, dan melalui organisasi tersebut beliau menganjurkan berdirinya koperasi.

Kegiatan serupa juga dilakukan oleh Partai Nasional Indonesia di bawah pimpimnan Ir. Soekarno, di mana pada tahun 1929 menyelenggarakan kongres koperasi di Betawi. Keputusan kongres koperasi tersebt menyatakan bahwa untuk meningkatkan kemakmuran penduduk Bumi Putera harus didirikan berbagai macam koperasi di seluruh Pulau Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya.

Untuk menggiatkan pertumbuhan koperasi, pada akhir tahun 1930 didirikan Jawatan Koperasi dengan tugas:

a. memberikan penerangan kepada pengusaha-pengusaha Indonesia mengenai seluk beluk perdagangan;

b. dalam rangka peraturan koerasi No 91, melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap koperasi-koperasi, serta memberikan penerangannya;

c. memberikan keterangan-keterangan tentang perdagangan pengangkutan, cara-cara perkreditan dan hal ihwal lainnya yang menyangkut perusahaan-perusahaan;

d. penerangan tentang organisasi perusahaan;

e. menyiapkan tindakan-tindakan hukum bagi pengusaha Indonesia ( Raka.1981,h.42)

DR. J.H. Boeke yang dulunya memimpin “Komisi Koperasi” 1920 ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Koperasi yang pertama.

Pada masa pendudukan bala tentara Jepang istilah koperasi lebih dikenal menjadi istilah “Kumiai”. Pemerintahan bala tentara Jepang di Indonesia menetapkan bahwa semua Badan-badan Pemerintahan dan kekuasaan hukum serta Undang-undang dari Pemerintah yang terdahulu tetap diakui sementara waktu, asal saja tidak bertentangandengan Peraturan Pemerintah Militer. Berdasarkan atas ketentuan tersebut, maka Peraturan Perkoperasian tahun 1927 masih tetap berlaku.

Akan tetapi berdasarkan Undang-undang No. 23 dari Pemerintahan bala tentara Jepang di Indonesia mengatur tentang pendirian perkumpulan dan penmyelenggaraan persidangan. Sebagai akibat daripada peraturan tersebut , maka jikalau masyrakat ingin mendirikan suatu perkumpulan koperasi harus mendapat izin Residen (Shuchokan) dengan menjelaskan syarat-syarat sebagai berikut :

a. Maksud perkumpulan atau persidangan, baik sifat maupun aturan-aturannya

b. Tempat dan tanggal perkumpulan didirikan atau persidangan diadakan

c. Nama orang yang bertangguing jawab, kepengurusan dan anggota-anggotanya

d. Sumpah bahwa perkumpulan atau persidangan yang bersangkutan itu sekali-kali bukan pergerakan politik.

PERTUMBUHAN KOPERASI SETELAH KEMERDEKAAN

Gerakan koperasi di Indonesia yang lahir pada akhir abad 19 dalam suasana sebagai Negara jajahan tidak memiliki suatu iklim yang menguntungkan bagi pertumbuhannya. Baru kemudian setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, dengan tegas perkoperasian ditulis di dalam UUD 1945. DR. H. Moh Hatta sebagai salah seorang “Founding Father” Republik Indonesia, berusaha memasukkan rumusan perkoperasian di dalam “konstitusi”.

Sejak kemerdekaan itu pula koperasi di Indonesia mengalami suatu perkembangan yang lebih baik. Pasal 33 UUD 1945 ayat 1 beserta penjelasannya menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa bangun perekonomian yang sesuai dengan azas kekeluargaan tersebut adalah koperasi. Di dalam pasal 33 UUd 1945 tersebut diatur pula di samping koperasi, juga peranan daripada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Swasta.

Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1950 program Pemerintah semakin nyata keinginannya untuk mengembangkan perkoperasian.Kabinet Mohammad Natsir menjelaskan di muka Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan dengan program perekonomian antara lain sebagai berikut “Menggiatkan pembangunan organisasi-organisasi rakyat , istimewa koperasi dengan cara pendidikan, penerangan, pemberian kredit yang lebih banyak dan lebih mudah, satu dan lain seimbang dengan kemampuan keuangan Negara”.

Untuk memperbaiki perekonomian-perekonomian rakyat Kabinet Wilopo antara lain mengajukan suatu “program koperasi” yang terdiri dari tiga bagian, yaitu :

a. Usaha untuk menciptakan suasana dan keadaan sebaik-baiknya bagi perkembangan gerakan koperasi

b. Usaha lanjutan dari perkembangan gerakan koperasi

c. Usaha yang mengurus perusahaan rakyat yang dapat diselenggarakan atas dasar koperasi.

Selanjutnya Kabinet Ali Sastroamidjodjo menjelaskan program Pemerintahannya sebagai berikut :

”Untuk kepentingan pembangunan dalam lapangan perekonomian rakyat perlu pula diperluas dan dipergiat gerakan koperasi yang harus disesuaikan dengan semangat gotong royong yang spesifik di Indonesia dan besar artinya dalam usaha menggerakkan rasa percaya pada diri sendiri di kalangan rakyat. Di samping itu Pemerintah hendak menyokong usaha itu dengan memperbaiki dan memperlluas perkreditan, yang terpenting antara lain dengan pemberian modal kepada badan-badan perkreditan desa seperti Lumbung dan Bank Desa, yang sedapat-dapatnya disusun dalam bentuk koperasi”.

Selanjutnya pada tanggal 15 sampai dengan 17 Juli 1953 dilangsungkan kongres koperasi Indonesia yang ke II di Bandung. Keputusannya antara lain merubah Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) menjadi Dewan Koperasi Indonesia (DKI). Di samping itu mewajibkan DKI membentuk Lembaga Pendidikan Koperasi dan mendirikan Sekolah Menengah Koperasi di Provinsi-provinsi. Keputusan yang lain ialah penyampaian saran-saran kepada Pemerintah untuk segera diterbitkannya Undang-Undang Koperasi yang baru serta mengangkat Bung Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia.

Pada tahun 1958 diterbitkan Undang-Undang tentang Perkumpulan Koperasi No. 79 Tahun 1958 yang dimuat di dalam Tambahan Lembar Negara RI No. 1669. Undang-Undang ini disusun dalam suasana Undang- Undang Dasar Sementara 1950 dan mulai berlaku pada tanggal 27 Oktober 1958. Isinya lebih biak dan lebih lengkap jika dibandingkan dengan peraturan-peraturan koperasi sebelumnya dan merupakan Undang-Undang yang pertama tentang perkoperasian yang disusun oleh Bangsa Indonesia sendiri dalam suasana kemerdekaan. Perlu dipahami bersama perbedaan sikap Pemerintah terhadap pengembangan perkoperasian atas dasar perkembangan sejarah pertumbuhannya di Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Pemerintahan Kolonial Belanda bersikap pasif

b. Pemerintahan Pendudukan Balatentara Jepang bersikap aktif negatif, karena akibat kebijaksanaannya nama koperasi menjadi hancur (jelek)

c. Bersikap aktif positif di mana Pemerintah Republik Indonesia memberikan dorongan kesempatan dan kemudahan bagi koperasi.

PERKEMBANGAN KOPERASI DALAM SISTEM EKONOMI TERPIMPIN

Peraturan konsep pengembangan koperasi secara misal dan seragam dan dikeluarkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :

(1) Menyesuaikan fungsi koperasi dengan jiwa dan semangat UUD 1945 dan Manipol RI tanggal 17 Agustus 1959, dimana koperasi diberi peranan sedemikian rupa sehingga kegiatan dan penyelenggaraannya benar-benar dapat merupakan alat untuk melaksanakan ekonomi terpimpin berdasarkan sosialisme ala Indonesia, sendi kehidupan ekonomi bangsa Indonesia dan dasar untuk mengatur perekonomian rakyat guna mencapai taraf hidup yang layak dalam susunan masyarakat adil dan makmur yang demokratis.

(2) Bahwa pemerintah wajib mengambil sikap yang aktif dalam membina Gerakan Koperasi berdasarkan azas-azas demokrasi terpimpin, yaitu menumbuhkan, mendorong, membimbing, melindungi dan mengawasi perkembangan Gerakan Koperasi.

(3) Bahwa dengan menyerahkan penyelenggaraan koperasi kepada inisiatif Gerakan Koperasi sendiri dalam taraf sekarang bukan saja tidakk mencapai tujuan untuk membendung arus kapitalisme dan liberalism, tetapi juga tidak menjamin bentuk organisasi dan cara bekerja yang sehat sesuai dengan azas-azas koperasi yang sebenarnya.

PERKEMBANGAN KOPERASI PADA MASA ORDE BARU

Semangat Orde Baru yang dimulai titik awalnya 11 Maret 1996 segera setelah itu pada tanggal 18 Desember 1967 telah dilahirkan Undang-Undang Koperasi yang baru yakni dikenal dengan UU No. 12/1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian. Konsideran UU No. 12/1967 tersebut adalah sebagai berikut ;

1. Bahwa Undang-Undang No. 14 Tahun 1965 tentang Perkoperasian mengandung pikiran-pikiran yang nyata-nyata hendak :

a. menempatkan fungsi dan peranan koperasi sebagai abdi langsung daripada politik. Sehingga mengabaikan koperasi sebagai wadah perjuangan ekonomi rakyat.

b. menyelewengkan landasan-landasan, azas-azas dan sendi-sendi dasar koperasi dari kemrniannya.

2. a. Bahwa berhubung dengan itu perlu dibentuk Undang-Undang baru yang sesuai dengan semangat dan jiwa Orde Baru sebagaimana dituangkan dalam Ketepatan-ketepatan MPRS Sidang ke IV dan Sidang Istimewa untuk memungkinkan bagi koperasi mendapatkan kedudukan hokum dan tempat yang semestinya sebagai wadah organisasi perjuangan ekonomi rakyat yang berwatak sosial dan sebagai alat pendemokrasian ekonomi nasional.

b. Bahwa koperasi bersama-sama dengan sector ekonomi Negara dan swasta bergerak di segala sektor ekonomi Negara dan swasta bergerak di segala kegiatan dan kehidupan ekonomi bangsa dalam rangka memampukan dirinya bagi usaha-usaha untuk mewujudkan masyarakat Sosialisme Indonesia berdasarkan Panvcasila yang adil dan makmur di ridhoi Tuhan Yang Maha Esa.

3. Bahwa berhubungan dengan itu, maka Undang-Undang No. 14 tahun 1965 perlu dicabut dan perlu mencerminkan jiwa, serta cita-cita yang terkandung dalam jelas menyatakan, bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan dan koperasi adalah satu bangunan usaha yang sesuai dengan susunan perekonomian yang dimaksud itu. Berdasarkan pada ketentuan itu dan untuk mencapai cita-cita tersebut Pemerintah mempunyai kewajiban membimbing dan membina perkoperasian Indonesia dengan sikap “ ing ngarsa sung tulada, ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani “.

Di bidang idiil, koperasi Indonesia merupakan satu-satunya wadah untuk menyusun perekonomian rakyat berazaskan kekeluargaan dan kegotong-royongan yang merupakan cirri khas dari tata kehidupan bangsa Indonesia dengan tidak memandang golongan, aliran maupun kepercayaan yang dianut seseorang. Kiperasi sebagai alat pendemokrasian ekonomi nasional dilaksanakan dalan rangka dalam rangka politik maupun perjuangan bangsa Indonesia.

Menurut pasal. 3 UU No. 12/1967, koperasi Indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak social, beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi yang merupakan tata azas kekeluargaan. Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa “ koperasi Indonesia adalah kumpulan orang-orang yang sebagai manusia secara bersamaan, bekerja untuk memajukan kepentingan-kepentingan ekonomi mereka dan

kepentingan masyarakat”.

PERKEMBANGAN KOPERASI PADA MASA REFORMASI

Potensi koperasi pada saat ini sudah mampu untuk memulai gerakan koperasiyang otonom, namun fokus bisnis koperasi harus diarahkan pada ciri universalitas kebutuhan yang tinggi seperti jasakeuangan, pelayananinfrastruktur serta pembelian bersama. Dengan otonomiselain peluang untuk memanfaatkan potensisetempat juga terdapat potensi benturan yang harus diselesaikan di tingkat daerah.

Dalam hal ini konsolidasi potensikeuangan, pengem­bangan jaringaninformasiserta pengembangan pusat inovasi dan teknologimerupakan kebutuhan pendukung untuk kuat­nya kehadiran koperasi. Pemerintahdi daerah dapat mendo­rong pengem­bang­an lembaga penjamin kreditdi daerah. Pemusatan koperasi di bidang jasa keuangan sangat tepat untuk dilakukan pada tingkat kabupaten/kota atau “kabupaten dan kota” agar menjaga arus dana menjadi lebih seimbang dan memperhatikan kepentingan daerah (masyarakat setempat).

Fungsi pusat koperasi jasa keuangan ini selain menjaga likuiditas juga dapat memainkan peran pengawasan dan perbaikan manajemen hingga pengembangan sistem asuransi tabungan yang dapat diintegrasikan dalam sistem asuransi secara nasional. Pendekatan pengembangan koperasi sebagai instrumen pembangunan terbukti menimbulkan kelemahan dalam menjadikan dirinya sebagai koperasi yang memegang prinsip-prinsip koperasi dan sebagai badan usaha yang kompetitif. Reformasi kelembagaan koperasi menuju koperasi dengan jatidirinya akan menjadi agenda panjang yang harus dilalui oleh koperasi di Indonesia.

Dalam kerangka otonomi daerah perlu penataan lembaga keuangan koperasi (koperasi simpan pinjam) untuk memperkokoh pembiayaan kegiatan ekonomi di lapisan terbawah dan menahan arus ke luar potensi sumberdaya lokal yang masih diperlukan. Pembenahan ini akan merupakan elemen penting dalam membangun sistem pembiayaan mikro di tanah air yang merupakan tulang punggung gerakan pemberdayaan ekonomi rakyat.

KOPERASI INDONESIA PERKEMBANGAN SELAMA TAHUN 2008

KOPERASI INDONESIA.Melanjutkan posting sebelumnya saya akan menyampaikan perkembangan jumlah Koperasi Indonesia selama tahun 2008. Dalam 1 tahun terakhir jumlah Koperasi Indonesia bertambah 126 unit. Rincianya adalah Koperasi Indonesia dengan status primer bertambah 119 unit dan Koperasi Indonesia yang berstatus sekunder bertambah 7 unit.

sedikit memang untuk ukuran Koperasi Indonesia, tetapi coba simak. total Koperasi Indonesia primer tingkat nasional mencapai 873 unit dan Koperasi Indonesia sekunder menjadi 165 unit. Sedangkan total Koperasi Indonesia yang tersebar di seluruh Indonesia sebanyak 149.793 Koperasi, jumlah yang tidak sedikit. Secara Jumlah Koperasi Indonesia memang cukup fenomenal tetapi secara kualitas masih jauh dibawah usaha2 kapitalis apalagi jika dibandingkan dengan koperasi internasional

Selain itu, dari hasil klasifikasi dan peringkatan, jumlah Koperasi Indonesia berkualitas di tahun 2008 mencapai 42.267 Koperasi Indonesia.

Tahun 2007 sebanyak 41.381 Koperasi Indonesia yang berkualitas sehingga terjadi peningkatan Koperasi Indonesia berkualitas sebanyak 886 Koperasi Indonesia.

Selama tahun 2008 Kemenkop dan UKM telah menyeleksi 3.866 Koperasi Indonesia yang memenuhi persyaratan untuk diumumkan dalam berita negara.

Anggaran APBN tahun 2008 Kemenkop dan UKM sebesar Rp 1,098 triliun telah direaliasikan sebesar Rp 940,95 miliar (85,65 %) sehingga Sisa lebih Penggunaan Anggaran (SILPA) senilai Rp 157,31 miliar terdiri dari penghematan Rp 60,3 miliar dan lain-lain Rp 97,01 miliar.

Senin, 19 Oktober 2009

Deregulasi Perbankkan

DEREGULASI perbankan sudah digulirkan sejak 14 tahun lalu. Kesan bongkar pasang itu tak terhindarkan. Bahkan, dari dampak yang kini terasa yaitu goyahnya sejumlah bank swasta, sangat terasa bahwa aturan-aturan perbankan Indonesia memang tak didasari pengalaman negara-negara lain yang sudah lebih lama mengatur soal-soal bank.

Deregulasi perbankan yang dikeluarkan pada 1 Juni 1983 mencatat beberapa hal. Di antaranya: memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk menentukan suku bunga deposito. Kemudian dihapusnya campur tangan Bank Indonesia terhadap penyaluran kredit. Deregulasi ini juga yang pertama memperkenalkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar Uang (SPBU). Aturan ini dimaksudkan untuk merangsang minat berusaha di bidang perbankan Indonesia di masa mendatang.
Lima tahun kemudian ada Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto 88) yang terkenal itu. Pakto 88 boleh dibilang adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah Republik Indonesia di bidang perbankan. Contohnya, hanya dengan modal Rp 10 milyar maka seorang pengusaha bisa membuka bank baru. Dan kepada bank-bank asing lama dan yang baru masuk pun diijinkan membuka cabangnya di enam kota. Bahkan bentuk patungan antar bank asing dengan bank swasta nasional diijinkan. Dengan demikian, secara terang-terangan monopoli dana BUMN oleh bank-bank milik negara dihapuskan.
Bahkan, beberapa bank kemudian menjadi bank devisa karena persyaratan untuk mendapat predikat itu dilonggarkan. Dengan berbagai kemudahan Pakto 88, meledaklah jumlah bank di Indonesia.

Banyaknya jumlah bank membuat kompetisi pencarian tenaga kerja, mobilisasi dana deposito dan tabungan jugase makin sengit. Ujung-ujungnya, karena bank terus dipacu untuk mencari untung, sisi keamanan penyaluran dana terabaikan, dan akhirnya kredit macet menggunung. Kondisi ini kemudian memunculkan Paket Februari 1991(Paktri) yang mendorong dimulainya proses globalisasi perbankan.
Salah satu tugasnya adalah berupaya mengatur pembatasan dan pemberatan persyaratan perbankan dengan mengharuskan dipenuhinya persyaratan permodalan minimal 8 persen dari kekayaan. Yang diharapkan dalam paket itu adalah akan adanya peningkatan kualitas perbankan Indonesia. Dengan mewajibkan bank-bank memenuhi aturan penilaian kesehatan bank yang mempergunakan formula kriteria tertentu, tampaknya paket itu tidak bisa menghindari kesan sebagai produk aturan yang diwarnai trauma atas terjadinya kasus kolapsnya Bank Perbankan Asia, Bank Duta, dan Bank Umum Majapahit.

Setelah itu, lahir UU Perbankan baru bernomor 7 tahun 1992 yang disahkan oleh Presiden Soeharto pada 25 Maret 1992. Undang Undang itu merupakan penyempurnaan UU Nomor 14 tahun 1967. Intinya, UU itu menggarisbawahi soal peniadaan pemisahan perbankan berdasarkan kepemilikan. Kalau UU yang lama secara tegas menjelaskan soal pemilikan bank/pemerintah, pemerintah daerah, swasta nasional, dan asing. Mengenai perizinan, pada UU lama persyaratan mendirikan bank baru ditekankan pada permodalan dan pemilikan. Pada UU yang baru, persyaratannya meliputi berbagai unsur seperti susunan organisasi, permodalan, kepemilikan, keahlian di bidang perbankan, kelayakan kerja, dan hal-hal lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangan Bank Indonesia.
Untuk mengurangi sebagian kendala yang dihadapi perbankan dalam melakukan ekspansi kredit dan koreksi terhadap Paktri yang begitu mengekang bank, pemerintah mengeluarkan Paket 29 Mei 1993 (Pakmei). Dengan Pakmei itu, pemerintah berharap mengucurkan kredit, sehingga dunia usaha tidak lesu lagi dan industri otomotif bisa bergairah kembali. Disebutkan dalam Pakmei ini pencapaian CAR (capital adiquacy ratio)– atau perimbangan antara modal sendiri dan aset — sesuai dengan ketentuan adalah 8 persen. Kemudian penyempurnaan lain pada paket itu adalah ketentuan loan to deposit ratio (LDR).

Analisisnya:
Deregulasi perbankkan bertujuan untuk memperbaiki perekonomian di Indonesia, yaitu dengan menhapuskan bea masuk tambahan (4 Juni 1996), bank-bank umum wajib mengalikasikan 20 persen dari total kreditnya untuuk pengusaha kecil (Paket Januari 1990 ), lewat paket kebijakan 6 Mei (Pakem), pemerintah menghapus sertifikat ekspor (SE). SE merupakan fasilitas empuk yang banyak digunakan eksportir untuk memperoleh pengembalian bea masuk dan unsur subsidi, ini diberikan bersamaan dengan kredit ekspor ( 1986 ), dan lain-lain. Deregulasi ini berdampak positif ,seperti kegiatan perbankkan yang tidak lagi seperti jaman Kolonial yang tidak berpihak pada masyarakat. Tapi jangan lupa pada kenyataanya Deregulasi yang dilakukan pemerintah juga menimbulkan dampak yang tidak baik pada perekonomian Indonesia. Masalah itu adalah timbulnya Krisis Ekonomi. Factor yang yang menyebabkan terjadi krisis ekonomi ini seperti besarnya pemberian kredit & jaminan secara langsung atau tidak lansung kepada individu atau kelompok menyebabkan kredit macet & pelanggaran BMPK, lemahnya kemampuan manajerial telah mengakibatkan penurunan kualitas aktiva produktifnya & peningkatan risiko yang dihadapi bank, kurang transparannya informasi mengenai kondisi perbankan, dll. Jadi deregulasi yang dilakukan pemerintah ada yang berdampak positif, tetapi juga menimbulakan dampak buruk bagi perekonomian Indonesia.

7 Prinsip Koperasi

Menurut ” UU no 25 thn 1992 pasal 5″ yang ada, disebutkan ada 7 Prinsip Koperasi. Disini saya akan menjeaskan ke tujuh-tujuh prinsip tersebut sebagai berikut :

1. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka : siapapun bisa menjadi anggota koperasi, tanpa ada unsure paksaan, bersifat sukarela dimaksud tidak mendapatkan upah berupa uang, namun jika ada keuntungan maka dilakukan SHU ( Sisa Hasil Usah) secara adil.
2. Pengelola koperasi bersifat demokratis : Semua kegiatan operasional koperasi dilakukan secara terang-terangan atau transparasi atau terbuka pada semua anggota koperasi dan pengurusnya.setiap anggota koperasi memiliki haknya masing-masing. Serta melibatkan anggota dalam melakukan keputusan apapun.
3. Pembagiaan SHU (Sisa Hasil Usaha) dilakukan secara adil sesuai dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota : dimaksudkan pembagian SHU itu diberikan kepada anggota koperasi tanpa terkecuali sesuai dengan kerja mereka masing-masing berat atau kecilnya agar hak dan kewajiban semua anggota dapat terlaksana dengan baik.
4. Pemberian balas jasa terhadap modal : Semua anggota dan pengurus koperasi harus bisa mengoperasikan koperasi secara baik agar tidak mendapat kerugian atau modal tidak sesuai dengan pendapatan, disini smua pengurus dan anggota harus kerja lebih extra. Jikalau pendapatan modal sedikit maka pemberian jasanya pun sedikit. Begitu juga dengan sebaliknya.
5. Kemandirian : Koperasi mengajarkan untuk setiap anggota untuk belajar mandiri atau berdiri sendiri tidak mengandalkan orang lain tapi mengandalkan kepintaran diri yang ada.
6. Pendidikan Perkoperasian : Dalam koperasi masing-masing anggota diajarkan, untuk berdagang, mampu berkomunikasi dengan baik terhadap masyarakat, bisa membawa diri untuk bersikap lebih baik lagi, serta memahami prinsip-prinsip koperasi.
7. Kerjasama antar koperasi : Dalam hal ini koperasi yang lebih tinggi tingkatnya harus bisa membimbing koperasi yang lebih rendah tingkatannnya, agar masyarakat bisa terpuaskan pada khususnya dan anggota pada umumnya. Serta dapat memperpanjang umur koperasi tersebut karena selalu bekerja sama dengan baik antar koperasi. Dan juga menjaga perkoperasian menjadi lebih terlihat kompak antara koperasi satu dengan koperasi lainnya.

Sabtu, 03 Oktober 2009

Koperasi disekolahku

Menurut pandanganku koperasi sekolah merupakan lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan member pelajaran.

Jadi koperasi sekolah adalah koperasi yang didirikan dilingkungan sekolah yang anggotanya tersiri atas siswa sekolah. Koperasi sekolah dapat didirikan pada berbagai tingkatan sesuai jenjang pendidikan. Contohnya Koperasi sekolah dasar, koperasi sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah keatas.

Tujuan koperasi sekolah adalah memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, Sedangkan pembentukan koperasi sekolah di kalangan siswa dilaksanakan dalam rangka menunjang pendidikan siswa dan latihan berkoperasi. Dengan demikian, tujuan pembentukannya tidak terlepas dari tujuan pendidikan dan program pemerintah dalam menanamkan kesadaran berkoperasi sejak dini.

Dengan adanya koperasi disekolahku dapat memberikan keringanan dalam masalah harga – harga kebutuhan para siswa dan juga anggota lainnya seperti para guru-guru… Terutama untuk keperluan sekolah seperti baju seragam, topi, dasi, pakaian olahraga, dan alat tulis yang tersedia lengkap dikoperasiku. Ada juga untuk kebutuhan pokok sehari-hari, seperti sabun, pasta gigi, shampoo, diterjen, beras, minyak goring, gula, dll. Harga koperasi ku jauh lebih murah dibanding dengan harga lainnya. Bagi siswa dan anggota lainnya yang belum dapat membayar dengan uang kontan, dapat memperoleh dengan cara kredit. Hal itu sesuai dengan tujuan utama koperasi, yaitu menyejahterahkan para siswa dan anggotanya.

Anggota Koperasi disekolahku terdiri atas murid dan guru. Modal koperasi berasal dari iuran para anggotanya.. untuk melayani pembeli, koperasi sekolahku memperkerjakan dua orang karyawan. Pada jam istirahat, siswa-siswa ikut membantu secara bergantian. Berkat kerja sama yang baik antara pengurus dan anggota, kini koperasi disekolahku maju. Bahkan, telah dilengkapi dengan kantin agar para siswa tidak jajan di luar sekolah. Kantinnya pun bersih. Jadi bisa menjaga kesehatan para siswa maupun para guru. Tapi sayangnya, koperasi disekolahku itu tidak punya tempat untuk fotocopy. Jadi kami semua para siswa, jika ada bahan untuk difotocopy, harus keluar sekolah dengan meminta izin kepada guru piket. Walaupun demikian, saya sebagai lulusan SMA di bogor, bangga dengan sekolahku.